Sabtu, 27 November 2010

Mengingat Ibu

Suatu hari...

A: "Wah, hapemu baru yaa?? Hape qwerty lagi! Keren banget!,"

B: "Makasih... kan lagi tren sekarang hape beginian."

A: "Iya ya. Hapeku masih begini-begini aja. Males juga sih mau ganti,"

B: "Mbok ya ganti. Hapemu bentuknya udah kayak gitu. Masa' ganti hape malah males sih?"

A: "Iya, males. Nggak ada uang pula."

B: "Ya minta lah, sama ibumu. Kayak orang miskin aja bilang nggak ada duit."

A: "Bukannya nggak mau juga ganti hape. Ini hape meskipun udah lecet tetep bisa dipake kok. Bukannya takut minta, tapi aku belom bisa ngasih apa-apa buat Ibu."

B: "..."

Hari lainnya...

A: "Kok pada punya gelang kayak gitu sih? aku jadi pengen. Berapa harganya?"

B: "Oh, ini. Di Mall banyak. Rp20.000,00 waktu aku beli."

A: "Ah?! yang bener? masa' gelang beginian doang harganya 20 rebu??"

B: "Eh, ini masih tergolong murah tau, Si C aja belinya 50 rebuan satu,"

A: "Beuh... pingsan aku ngeluarin 50 rebu buat beli begituan. Imitasi palingan juga 5 rebu,"

B: "Tapi kan, kerenan yang asli laah..."

A: "Tapi kalo aku udah make yang imitasi, nggak akan ada bedanya sama punyamu. hahaha..."

B: "Nggak lah, jelas masih kinclongan punyaku. Yang begini jangan disamain sama yang imitasi,"

A: "Nggak jadi beli aah..."

B: "Ya beli yang imitasi aja kalo emang maunya yang itu,"

A: "Nggak jadi. minatku beli itu jadi ilang."

B: "Lah? Kenapa?"

A: "Itu paling cuma kepake berapa minggu, udah dilepas gara-gara udah nggak ngetren. Ibu bakal bilang apa sama aku kalo kayak gitu. Bisa berabe ntar."

B: "..."

Hari-hari berikutnya

A: "Wah, barang-barangmu ngikutin tren semua ya? Dulu BB, gelang antik, sekarang kemana-mana udah pake celana pendek aja mamerin paha mulus. hehehe..."

B: "Enak aja bilang aku mamerin paha mulus! ini tren gaya hidup, tau! biar gaul! daripada kamu, pakean T-Shirt mulu. Bosen tau, orang ngeliat kamu pake baju kayak gitu. Siapa cowok yang mau sama kamu kalo kayak gitu?"

A: "Hehe.. maap..maap. Kalo jodoh mah, udah ada yang ngatur. Aku maunya kan, cowok itu nggak liat fisiknya, tapi inner beauty nya. Emang gaul kudu begitu ya?"

B: "Biarin. Keren tauk!"

A: "Iye maap... nggak usah cemberut gitu dong. Kalo kamu belanja mikir gaul kan? kalo aku nggak."

B: "Iyalah. Penampilan nomer satu! terus mikirin apa dong? budget?"

A: "Nggak. Kalo aku mau beli sesuatu, yang aku pikirin pertama tu, Ibu. Aku nggak tau reaksinya kalau aku beli ini-itu. Takutnya aku yang rugi bandar. Hehehe."

B: "..."

Memberi dan Menerima

*terispirasi dari favourite quotations seorang teman*
Banyak orang bilang, jadilah orang yang lebih banyak memberi daripada menerima (intinya begitu). Tentu saya setuju. Tapi, ah, kalimat sependek itu saja membuat saya ingin berpikir, berpikir dalam konteks yang lebih luas lagi maksudnya.

(menurut saya) Memberi diawali dan diakhiri oleh banyak menerima. Kalau kita ingin mulai berkarya, menciptakan sesuatu, atau membuat gebrakan (coret yang tidak perlu), tentu kita harus siap menerima semua perkataan orang terhadap pandangan kita. Bisa saja caci maki kita simpan lebih banyak daripada pujian. Hal itulah yang (seharusnya) memacu kita untuk memberi lebih banyak dengan kualitas yang lebih baik. Setelah kita berhasil memberi yang terbaik, kita akan menerima pujian yang lebih banyak daripada cacian. Tapi kita tidak boleh lengah terhadap pujian yang kita terima. Kita harus bisa terus memberi hingga otak kita tak berfungsi lagi.

hitung ada berapa kata 'memberi' jika dibandingkan dengan 'menerima'. dan ya, memberi harus lebih banyak dari menerima :)
9.19.2010 2:17 a.m.

Selasa, 09 November 2010

MAHAL

Pertama kali melihat pameran fotografi, hatiku sudah mulai terobsesi. Ayahku membelikan sebuah kamera digital untuk mendokumentasi kenangan-kenangan keluarga, teman, atau berkenaan dengan momen-momen penting lainnya. Aku mulai rajin untuk mengambil gambar. Apapun itu. rumah, pemandangan, teman-teman, dan banyak hal lainnya. Yah, bisa dibilang, aku telah dikenal sebagai fotografer junior di antara kerabat dekatku. Sayangnya wajahku jarang sekali ada di dalam foto. Kamera itu agak sulit digunakan. Jadi kalau sudah dewasa, aku tak akan tahu seperti apa rupaku pada zaman dahulu.

Umurku 13. Masih punya banyak waktu untuk belajar.

Di akun jejaring sosial milikku, sering kulihat mereka memasang foto-foto yang indah, foto diri yang memegang kamera, bahkan ada yang pernah membajak foto hasil jepretanku. Tak apa, kalau sampai dipamerkan di museum pun, aku yang akan lebih bangga dan lebih bahagia dibandingkan orang yang membajak fotoku. Ah, khayalanku mulai meninggi.

Aku hanya bisa menatap mereka yang memotret diri sendiri dengan kamera professional. Aku suka sekali melihat kamera yang begitu besar itu. Tapi berkali-kali aku menyadarkan diri sendiri, “hey, kamera seperti itu harganya mahal! Kamu mau beli pakai apa?!”